Bandar Lampung, RD – Komisi I DPRD Provinsi Lampung menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama berbagai pihak terkait guna membahas penyelesaian konflik aset tanah di Way Dadi, Kota Bandar Lampung, yang hingga kini masih menyisakan polemik berkepanjangan.
Rapat ini dihadiri oleh perwakilan masyarakat, tim penyelesaian aset Pemerintah Provinsi Lampung, Serta Ketua dan anggota Komisi I DPRD Provinsi Lampung.
Dalam forum tersebut, salah satu perwakilan masyarakat melalui Ketua Kelompok Masyarakat (Pokmas) ST2, Hamin Hadi, menyampaikan kronologi panjang dan akar masalah yang menyebabkan konflik tanah Way Dadi tidak kunjung tuntas sejak puluhan tahun lalu.
Dalam paparannya, Hamin Hadi menjelaskan bahwa permasalahan tanah di Way Dadi bukanlah persoalan baru.
Konflik ini telah berlangsung sejak awal 1980-an, ketika terjadi tumpang tindih antara lahan yang seharusnya menjadi peruntukan masyarakat dengan lahan milik perusahaan swasta, PT Way Halim Permai.
“Masalah ini bukan hanya soal HPL 89 hektar, tapi totalnya mencapai 183,9 hektar. Pemerintah hanya mengurus HPL karena dianggap aset yang ada nilainya, sementara hak masyarakat diabaikan,” tegas Hamin di hadapan Komisi I DPRD Lampung Pada Rabu, 14 Oktober 2025.
Ia menjelaskan, berdasarkan SK Menteri Agraria No. BTO 550/80 tanggal 26 Maret 1980, masyarakat Way Halim telah mendapatkan peruntukan lahan permukiman seluas 300 hektar dari eks HGB PT Way Halim Sumatera Rubber and Coffee.
Namun, pada tahun 1981 muncul HGB PT Way Halim Permai yang seharusnya hanya mencakup 200 hektar, tetapi dalam praktiknya meluas hingga menguasai 320 hektar, termasuk lahan yang sudah diperuntukkan bagi masyarakat.
“Ini praktik mafia tanah era Orde Baru. HGB-nya 200 hektar, tapi petanya meluas hingga masuk ke wilayah masyarakat. Akibatnya, sekitar 90,3 hektar lahan masyarakat ikut disertifikatkan ke perusahaan,” ujarnya.
Hamin menambahkan, Pemerintah Provinsi Lampung kala itu sempat membatalkan SK HGB Nomor 6 Tahun 1981 dan mengembalikannya ke 200 hektar.
Namun, sertifikat yang telah terbit tidak pernah dicabut. “Inilah kebobrokan administrasi BPN saat itu. Sampai hari ini, hak keperdataan masyarakat belum diakui,” tegasnya.
Lebih lanjut, Hamin mengungkapkan bahwa setelah konflik dengan PT Way Halim Permai, sekitar 120 hektar lahan yang seharusnya dikembalikan kepada masyarakat justru diajukan menjadi Hak Pengelolaan Lahan (HPL) oleh Pemerintah Provinsi Lampung.
“Dari 120 hektar itu, 21 hektar dibangun PKOR dan Bumi Kedaton, sementara 89 hektar dijadikan HPL yang sekarang disebut aset pemerintah. Ada juga 10 hektar yang diambil oleh Kanwil BPN Provinsi Lampung,” ungkapnya.
Menurutnya, kondisi ini membuat ribuan warga Way Dadi menjadi korban ketidakadilan selama lebih dari empat dekade.
“Masyarakat Way Dadi adalah korban. Sejak 1981 kami jadi korban kolaborasi oligarki perusahaan, BPN, dan pemerintah daerah,” ujarnya dengan nada tegas disambut tepuk tangan warga Way Dadi yang hadir.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Pokja Tim Penyelesaian Aset Pemerintah Provinsi Lampung, Sulfakar, menyampaikan apresiasi atas penyampaian langsung aspirasi masyarakat kepada Komisi I DPRD.
Ia menjelaskan bahwa tim penyelesaian aset baru saja dibentuk oleh Gubernur Lampung, dan saat ini pihaknya tengah berupaya melakukan kajian menyeluruh terhadap status lahan tersebut.
“Kami hadir di sini untuk mendengarkan dan mencatat seluruh aspirasi masyarakat. Persoalan ini memang tidak sederhana, bahkan sudah berlangsung sejak saya masih pegawai muda, dan sampai menjelang pensiun pun belum tuntas,” ujar Sulfakar.
Ia menegaskan bahwa karena tanah tersebut sudah tercatat dalam Neraca Aset Pemerintah Provinsi, maka penyelesaiannya harus melalui mekanisme resmi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Proses penyelesaian ini tidak bisa sembarangan, karena statusnya sudah masuk dalam neraca aset daerah. Maka, setiap langkah harus berdasarkan aturan, apakah melalui penjualan, tukar-menukar, hibah, atau pernyataan modal. Semua akan kami kaji dari aspek hukum dan administratif,” jelasnya.
Sulfakar menambahkan bahwa pihaknya akan bekerja sama dengan Komisi I DPRD dan berbagai pihak terkait untuk mencari solusi terbaik.
“Kami akan mengkaji dan menelaah secara mendalam agar bisa ditemukan jalan tengah yang adil antara kepentingan masyarakat dan ketentuan aset daerah,” Pungkasnya.
Komisi I DPRD Provinsi Lampung dalam RDP ini berkomitmen untuk mendorong penyelesaian menyeluruh dan adil terhadap konflik tanah Way Dadi.
Sementara itu Garinca Reza Pahlevi Ketua Komisi I DPRD Provinsi Lampung menyatakan bahwa selanjutnya pihaknya akan memfasilitasi pertemuan lanjutan yang melibatkan seluruh instansi terkait, termasuk Pemprov Lampung, serta perwakilan masyarakat.
“Berilah kami kesempatan, artinya Pak Sulfakar beserta Pokjanya, kami juga sebagai lembaga pengawas dari DPRD Provinsi Lampung juga bekerja untuk mendorong resolusi itu. Nantinya kedepan tim yang sudah dibentuk ini bisa bekerja dengan maksimal,Tutupnya.
Masalah aset Way Dadi telah menjadi isu strategis di Kota Bandar Lampung selama puluhan tahun dan menyangkut hak ribuan kepala keluarga yang menempati lahan tersebut sejak sebelum kemerdekaan.
Rapat dengar pendapat ini diharapkan menjadi momentum penting untuk mengurai benang kusut konflik agraria yang telah menahun di kawasan Way Dadi, serta menjadi langkah awal menuju penyelesaian yang berpihak kepada keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat.(*)









