Bandar Lampung, RD – Komisi V DPRD Provinsi Lampung menanggapi sejumlah keluhan dari Forum Komunikasi Kepala Sekolah (FKKS) SMA-SMK Swasta se-Kota Bandar Lampung.
Anggota Komisi V DPRD Lampung dari Fraksi PKS, Syukron Muchtar, menerima langsung audiensi para kepala sekolah swasta tersebut di ruang kerja Komisi V, Senin (7/7/2025).
Dalam pertemuan itu, FKKS menyampaikan berbagai persoalan yang tengah dihadapi sekolah swasta. Mulai dari kebijakan ijazah digital (PDF), pelaksanaan program SIGER (Sekolah Siger Cerdas dan Responsif), hingga persoalan kekurangan tenaga pengajar dan kesiapan sistem pembelajaran.
“Kami tampung semua masukan dari Bapak dan Ibu kepala sekolah. Namun karena pimpinan sedang dinas luar dan kami juga tengah membahas RPJMD 2025–2029, waktu kami terbatas,” ujar Syukron Muchtar.
Terkait ijazah dalam format PDF yang diwajibkan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, Syukron menegaskan akan menelusuri lebih lanjut dasar kebijakan tersebut.
“Kalau kebijakan itu bertentangan dengan Permendikbud, tentu akan kami akan bahas bersama Dinas Pendidikan,” tegasnya.
Syukron juga menyoroti pelaksanaan program Sekolah Siger.
Menurutnya, Komisi V akan mengecek secara menyeluruh legalitas hingga kesiapan teknis program tersebut.
“Kami akan cek apakah Siger ini benar program resmi atau sekadar branding. Termasuk soal perizinan yang dinilai terlalu cepat, sistem pembelajaran yang belum siap, serta kekurangan guru,” jelasnya.
Tak hanya itu, Syukron turut menanggapi surat edaran Dinas Pendidikan tertanggal 3 Juni 2025 yang menghentikan sementara kegiatan sekolah seperti study tour dan kunjungan industri.
“Oke kalau study tour kebijakannya sangat positif. Tapi kalau kunjungan industri ini berimbas besar ke SMK, karena kegiatan seperti kunjungan industri itu sangat penting bagi siswa. Nanti akan kami evaluasi juga,” ujarnya.
Syukron memastikan seluruh aspirasi dari FKKS akan ditindaklanjuti dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Dinas Pendidikan dan pihak terkait.
“Kami tidak bisa langsung ambil keputusan. Tapi semua akan kami follow up dan kaji bersama,” pungkasnya.
Senada disampaikan M Junaidi DPRD dari Fraksi Demokrat.
Dia menegaskan pentingnya keberlangsungan sekolah swasta di tengah kebijakan pendidikan yang makin kompleks dan membebani.
“Saya sendiri dari dulu sekolah di swasta, dari SMP sampai SMA. Jadi saya paham betul bagaimana perjuangan di sekolah swasta,” kata Junaidi.
“Saya tahu rasanya, dan saya tidak ingin sekolah-sekolah swasta ini sampai gulung tikar.”
Junaidi menyoroti perubahan pola penerimaan siswa yang kini tak lagi mengandalkan nilai, seperti era NEM dahulu, melainkan sistem zonasi dan jalur afirmasi yang dinilainya membingungkan.
Hal ini berdampak langsung pada kemampuan sekolah swasta menjaring siswa.
“Kalau dulu tidak lolos di negeri, otomatis masuk swasta. Sekarang, sistemnya seperti diatur langit saja. Kita juga bingung,” ujarnya.
Sementara ada sekolah swasta yang tetap ramai, artinya ada faktor kepercayaan masyarakat yang harus dibangun.
Ia mengajak seluruh pihak untuk mengevaluasi metode pendidikan dan promosi sekolah swasta.
“Mungkin ada yang keliru di metode kita, baik pemasaran maupun cara mengajar. Harusnya ini kita benahi bersama,” kata Junaidi.
Di sisi lain, ia menyatakan dukungan terhadap pendidikan gratis, namun menyadari hal itu bertolak belakang dengan realitas sekolah swasta.
“Saya pribadi senang kalau SMA gratis. Tapi bagaimana dengan nasib guru dan karyawan swasta? Itu jadi soal.”
Junaidi juga menyoroti ketimpangan antara guru honorer dan PNS di sekolah negeri.
Ia menyebut masih banyak sekolah negeri kekurangan guru bidang studi, tapi tak merekrut lulusan baru sebagai honorer, padahal di sisi lain banyak guru swasta kehilangan pekerjaan akibat sekolah tutup.
“Saya pikir ini harus dicocokkan dengan Dinas Pendidikan. Kalau sekolah swasta tutup karena tak sanggup menanggung beban operasional, ya harus ada jalan keluar,” tegasnya.
Terkait masalah pengambilan ijazah yang dikenai biaya, Junaidi mengakui hal itu menjadi dilema.
“Bukan hanya di swasta, di negeri juga banyak siswa belum bisa ambil ijazah karena belum lunas. Di satu sisi aturan melarang menahan ijazah, di sisi lain sekolah butuh biaya,” ujarnya.
“Ini harus dicarikan titik temu. Kita tidak bisa sekadar menyalahkan sekolah.”
Menutup pernyataannya, Junaidi mendorong agar persoalan pendidikan swasta dimasukkan dalam pembahasan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Lampung.
“Mumpung ini sedang dibahas, kita harus pastikan keberpihakan kepada sekolah swasta tidak diabaikan,” ujarnya.
Sementara anggota Komisi V DPRD Provinsi Lampung dari Fraksi PDI Perjuangan, Condrowati, meminta Dinas Pendidikan segera mengevaluasi sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) di sekolah negeri.
Ia menilai ketimpangan jumlah rombongan belajar (rombel) antara sekolah negeri dan swasta makin tajam, dan dapat mematikan eksistensi sekolah swasta.
“Bayangkan, yang diterima di SMA negeri ada 10.385 siswa, sementara kapasitas ideal hanya sekitar 2.400 siswa. Saya punya datanya,” kata Condrowati.
Ia mencontohkan, ada sekolah negeri yang memiliki rombel jauh di atas kewajaran.
“SMKN 4, misalnya, menerima 864 siswa baru. Itu artinya rombelnya lebih dari 20, bahkan bisa 27,” ujarnya.
Menurutnya, Dinas Pendidikan perlu menetapkan batas maksimal rombel di sekolah negeri, agar ada distribusi siswa yang lebih merata dan adil.
“Kalau per sekolah negeri maksimal 10 atau 12 rombel saja, dengan rata-rata 36 siswa per rombel, sisanya bisa masuk ke sekolah swasta. Ini belum pernah terjadi, padahal sangat mungkin dilakukan,” kata dia.
Condrowati juga menyayangkan tidak dilibatkannya sekolah swasta dalam rapat teknis penerimaan siswa baru.
“Sudah tiga tahun sekolah swasta tidak pernah diajak rapat soal PPDB. Padahal kalau diajak, kepala sekolah bisa menyampaikan langsung keluhannya,” ucapnya.
Ia menegaskan, ke depan pihaknya akan mengoordinasikan dengan Komisi V agar kepala sekolah swasta bisa dilibatkan dalam rapat-rapat pembahasan teknis PPDB.
“Ini soal keberlangsungan. Kita semua tahu, setiap orang tua tentu ingin anaknya masuk negeri, termasuk saya. Tapi negara tidak boleh membiarkan sekolah swasta mati. Maka harus ada kebijakan yang adil,” ujarnya.
Condrowati menyatakan akan menyampaikan langsung hal ini ke Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung.
“Saya akan minta agar saat rapat PPDB nanti, sekolah swasta diundang. Supaya bisa mengusulkan rombel maksimal 10 atau 12 per sekolah negeri. Kalau ini diterapkan, sekolah swasta tidak akan mati,” kata dia.
Ia juga menyebut saat ini DPRD Lampung sedang membahas RPJMD.
“Besok terakhir pembahasannya. Kami akan kawal agar soal pendidikan swasta juga masuk sebagai perhatian,” ujarnya.(*)